Photo Kenangan Tuan Taralamsyah Saragih Garingging & Istri Siti Mayun Br Regar-1975
Tuan Taralamsyah Saragih
Tuan Taralamsyah Saragih Garingging adalah salah seorang bangsawan Simalungun yang memiliki kepedulian terhadap seni, budaya dan sejarah Simalungun. Penguasaannya terhadap Sejarah, Seni dan Kebudayaan Simalungun khususnya, perlu dihargai dan dikenang meskipun beliau telah lama berpulang.
Arlin Dietrich Jansen saat menyusun Thesis Doctor of Philosophy (Ph.D), dengan judul Gonrang Music : Its structure and functions in Simalungun Batak Society in Sumatra / University of Washington, 1980, mengakui meskipun ia belum bertemu sua dengan Taralamsyah Saragih, namun koresponden yang ia lakukan dengan Taralamsyah Saragih, sangat banyak menjadi rujukan dalam thesis yang sudah menjadi buku ini.
Banyak penulis buku mengenai Simalungun mengutip pendapat Taralamsyah Saragih. Ia dengan tegas menyebutkan Rumah Bolon Nagur berada di Nagurusang (kini masuk Kab. Serdang Bedagai). Pendapat ini secara lugas dikutip Sejarahwan Dada Mauraxa, misalnya.
Taralamsyah Saragih yang menyelesaikan pendidikan formal di Holandse Inlandse School (HIS) Simalungun ini, misalnya dalam surat pribadi,1963, menjelaskan jika orang Simalungun asli itu merupakan keturunan dari empat raja-raja besar yang berasal dari Siam dan India dengan rakyatnya masuk ke Sumatera Timur terus ke Aceh, Langkat dan daerah Bangun Purba dan Bandar Kalifah sampai Batubara. Akibat desakan orang “Djau”, berangsur-angsur mereka mencapai pinggiran Danau Toba sampai ke Samosir. Adapun keempat marga-marga Simalungun yang populer Sinaga, Saragih, Damanik dan Purba berasal dari “harungguan bolon” (permusyawaratan besar) raja-raja yang empat itu agar jangan saling menyerang, bermusuhan dan “marsiurupan bani hasunsahan na legan, rup mangimbang munsuh”.
Mengenai Keturunannya morga Sinaga Dadihoyong di Kerajaan Tanoh Jawa, Batangiou di Asahan. Taralamsyah Saragih menjelaskan, “Saat kerajaan Majapahit melakukan ekspansi di Sumatera pada abad ke 14 , pasukan dari Jambi yang dipimpin Panglima Bungkuk melarikan diri ke kerajaan Batangiou dan mengaku bahwa dirinya adalah Sinaga. Nenek moyang mereka ini kemudian menjadi raja Tanoh Jawa dengan morga Sinaga Dadihoyong setelah ia mengalahkan Tuan Raya Si Tonggang morga Sinaga dari kerajaan Batangiou dalam suatu ritual adu sumpah (Sibijaon)”.
Sosok multi talenta yang mampu bermain berbagai alat musik, mencipta lagu, menari dan mengkoreografi tari serta kepeduliannya terhadap Simalungun, sudah jarang kita temukan saat ini dikalangan masyarakat Simalungun. namun Tuan Taralamsyah Saragih Garingging memiliki semua itu.
Terlahir di lingkungan Rumah bolon (Istana) di Pamatang Raya – Simalungun, Ahad 18 Agustus 1918. Menikah saat berusia 26 tahun dengan Siti Mayun br Regar pada Sabtu 25 November 1944, dan dianugrahi 3 orang putra dan 9 putri.
Mansen Purba, SH (Alm) saat menjadi Sekretaris Rektor Universitas Simalungun (USI), 1967, pernah berkreasi bersama dengan Taralamsyah Saragih. Dalam catatan Mansen Purba menulis, “Aku juga mengusahakan agar USI berperan sebagai pusat kegiatan kebudayaan. Salah satunya adalah di kala kuprakarsai pagelaran Semalam di Simalungun, karya Taralamsyah Saragih, dengan penari utama Nangkir Saragih, dari Medan. Setelah latihan di Medan, rombongan penari menginap di USI, sebelum pertunjukan digelar di Aula Nommensen. Sekaligus aku berharap pagelaran tersebut dapat menjadi sumber penghasilan bagi seniman sekaliber Taralamsyah Saragih yang waktu itu kurang mendapat perhatian”.
“Berkat dukungan moril dari Komandan Korem Laiku Silangit (Tarigan/Purba Silangit asal Gunung Mariah), pagelaran tersebut sukses, baik dari segi pagelaran keseniannya maupun dari segi finansial. Sayangnya, Nangkir Saragih sebagai penari utama ‘menodong’ Taralamsyah sesaat sebelum pertunjukan. Ia minta bayaran yang sangat besar, jika tidak dipenuhi, akan mengundurkan diri. Taralamsyah terpaksa mengabulkannya, dan karena itu yang tersisa untuk Taralamsyah hampir tidak ada”, tambah Mansen Purba.
“Sejak itu Tulang Taralamsyah sempat tinggal bersama kami di USI, menempati salah satu kamar di Lantai-2. Disela-sela kegiatannya menulis, pada malam hari beliau berdendang dengan clarinetnya. Masa itulah Tulang Taralamsyah merampungkan bukunya berisi sejarah Kerajaan Raya dan silsilah Raja Raya serta penyebaran keturunan Raja Raya. Nama Taralamsyah Saragih dan nama Inangku tercantum sebagai generasi ke-15, yang berarti aku generasi ke-16. Naskahnya diserahkan kepadaku agar kuterbitkan. Saat aku sudah pindah ke Medan, naskahnya kuketik ulang, kemudian difotocopy diperkecil 50%, dan akhirnya kuterbitkan setelah ku-offset di Percetakan Tapian Raya, dengan biaya sendiri. Judulnya “Saragih Garingging”. Tulang Taralamsyah sangat berharap mendapat honor dari penerbitan tersebut, tetapi hanya sedikit yang sempat kukirimkan, karena penjualan buku tersebut tersendat”.
Website Taman Budaya Jambi menuliskan tentang Tuan Taralamsyah Saragih, “Kehadirannya di Jambi sejak pertengahan tahun 1971 atas permintaan Gubernur R.M. Noer Atmadibrata pada waktu itu, telah menambah khasanah bagi perkembangan dunia kesenian Jambi. Menurut H. Tamjid Widjaya, salah seorang sahabat dan murid terdekatnya mengatakan bahwa beliau umpama besi berani, mengumpulkan dan menyatukan serbuk-serbuk besi yang berserakan di sekitarnya. Beliau juga merupakan figure seorang guru dan sekaligus bapak yang mampu meletakkan porsinya dalam mendidik murid-muridnya, mereka semua dianggap seperti anak sendiri. Jadi tidak hanya mengajarkan ilmu keseniannya tapi juga memberikan bekal hidup bagi diri saya secara pribadi, kenang H. Tamjid Widjaya yang musisi dan pencipta lagu-lagu Jambi ini.
Pada tahun 1978, Gubernur Jambi Jamaluddin Tambunan, pernah menginstruksikan untuk melaksanakan penelitian dan pencatatan seni musik dan tari daerah Jambi, yang langsung dipercayakan kepada Taralamsyah Saragih sebagai ketua teamnya, dengan anggota Surya Dharma, Tamjid Widjaya, OK. Hundrick, Marzuki Llazim dan M. Syafei Ade, yang kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku yang masih berupa manuskrip dengan judul Ensiklopesi Musik dan Tari Daerah Jambi”.
Semasa hidupnya banyak pekerjaan dan kegiatan yang mengarah pada seni dan budaya ia lakoni. Sebut saja sebagai Pembina serta piñata tari dan musik yang bertolak dari tradisi Simalungun dan melayu, Pimpinan Orkes Keroncong Pematang Siantar (1936-1941), Perkumpulan musik Siantar Beki Dan (1942-1946), Badan Kesenian Simalungun di Medan (1952-1953), Dosen sejarah di Universitas Sumatera Utara (1968-1970), mengelola kesenian di Jambi sejak 1971 serta serentetan kreatifitas yang perlu diperhitungkan.
Penguasaan beliau terhadap seni musik, khususnya gual Simalungun, sulit kita temukan tandingnya pada saat ini. Saat sebelum Revolusi Sosial 1946, Taralamsyah Saragih pernah menjelaskan bahwa sangat banyak jenis musik khas Simalungun yang dahulu mereka pelajari, namun saat Revolusi Sosial tersebut, sekian banyak peralatan musik Simalungun yang kini tidak kita temukan lagi, turut terbakar di dalam istana kerajaan Raya.
Dalam ranah tari Simalungun, banyak jenis tari lahir dari koreografinya. Sebut saja tari Sitalasari (1946), Pamuhun, Simodak odak, Haro-haro (1952), Sombah ( merupakan penyelarasan tortour Sombah yang telah lahir dari akar leluhur, 1953), Runten Tolo (1954), Nasiaran (1955), Makail, Manduda (1957), Haroan Bolon (1959), Uou (1960), Tembakan (1964), Panak Boru Napitu (1966), Erpangir (1968) serta banyak lagi tari dan sendratari yang ia ciptakan dari tangan dinginnya.
Dalam ranah seni suara Simalungun, Taralamsyah Saragih telah banyak menciptakan lagu Simalungun, sebut saja: Lagu Eta Mangalop Boru, Parmaluan, Hiranan, Inggou Parlajang, Tarluda, Parsonduk Dua, Padan Na So Suhun, Tading Maetek, Pamuhunan, Paima Na So Saud, Sihala Sitaromtom, Sanggulung Balunbalun, Ririd Panonggor, Marsalop Ari, Mungutni Namatua, Pindah-Pindah, Inggou Mariah, Uhur Marsirahutan, Poldung Sirotap Padan, Bujur Jehan, Simodak Odak (ciptaan bersama dengan Tuan Jan Kaduk Saragih), serta yang lainnya.
Ada pula beberapa lagu tradisi Simalungun yang ia gubah kembali, seperti Parsirangan , Doding Manduda (ilah tradisi dari Ilah I Losung), Ilah Nasiholan, Marsigumbangi dan Na Majetter (ilah tradisi dari Ilah Bolon).
Terus menghidupkan kesenian dan berkarya, begitu mungkin yang ditekadkan Taralamsyah Saragih dalam mengisi kehidupan. Walaupun hujan duit belum dan tak akan pernah ia rasakan, tapi Sang Bangsawan ini telah melahirkan banyak karya yang belum pernah dimasukkan dalam Hak Kekayaan Intelektual itu.
Tepat pada hari Senin tanggal 1 Maret 1993 di Jambi, Tuan Taralamsyah Saragih Garingging menghembuskan nafas terakhir, disaat sedang menyusun dan ingin merampungkan Kamus Simalungun yang ia susun dari tahun 1960-an dan hingga kini belum diterbitkan.